Minggu, 27 Desember 2009

Puisi Cinta buat CINTA(1)


Akulah si pesakit itu!

Penderita kefakiran iman

Meraba dalam kegelapan
Mencari dalam ketiadaan..
Karena itu.. si fakir ini..
di ketidaksempurnaan keyakinan

di ujung harapan keputusasaan
Memohonkan sebuah pinta yang klise
Permohonan yang berbeda dengan ribuan ritual do'a tak bernada
Oh.. Sang Pencipta..
Izinkan hamba tuk mencintai-MU.

Puisi Cinta buat Ibu(1)

Inilah aku kini bu..
Yang dulu tidur dan menangis di belaianmu
Yang telah tumbuh dan besar berkat air susumu
Ku kan terus berusaha ibu..
Menjadi seperti apa yang kau inginkan
Menggapai semua yang kau impikan untukku
Kata-katamu...
Bagai lagu.. yang meninabobokkan ku
Sungguh ku tak bisa jauh darimu
Pinta ku hanya satu ibu..
Ampuni aku si anak tak tahu diri ini
Dan jangan pernah lagi..
Kau menangis untuk diriku.

Buat : Ibuku
si wanita hebat setegar karang

Puisi Cinta buat Ayah


Seandainya kau masih disini ayah..

Kau akan menjadi saksi tentang kehidupanku saat ini

Inginnya ku berbagi padamu seperti saat itu
Kau bercerita tentang pahitnya kehidupan

dan sedihnya penderitaan yang kau alami

Kau selalu mendukungku..

pada apapun yang ku lakukan
Kau selalu bangga padaku seperti aku mengagumimu
Beristirahatlah dengan tenang ayah..

Disini.. Di dunia fana ini..

Aku kan terus berusaha tuk tidak mengecewakanmu.

Buat : Ayahku terc inta

Seorang pria sederhana yang selalu kehabisan waktu untuk menafkahi keluarganya

Mimpi Setinggi Langit.. (lanjutan)


Mereka tertawa pada mimpi2 ku..

mengapa? apa mereka tak pernah bermimpi? atau mimpiku yang terlalu tinggi..
bukankah( lagi-lagi aku mengatakan ini) mimpi memang harus setinggi langit?

Tahun 1999...
seseorang bertanya kepadaku," kau ingin menjadi seorang dokter? wah..wah.. hahahaha..."
dan seorang lagi pernah berkata kepada ibuku, "sebaiknya batalkan saja keinginan anakmu itu untuk kuliah di kedokteran, kalian tak akan sanggup."

Tapi.. bagaimanapun aku berterima kasih pada mereka..
perkataan mereka yang kadang2 menyakitkan menambah semangatku untuk membuktikan bahwa aku bisa..

Alhamdulillah ya Rabb..

Senin, 21 Desember 2009

Mimpi Setinggi Langit

Ternyata susah juga yah.. bingung mau nulis apa..
mgkn pertama-tama aku kenalin diriku dulu..

Aku adalah seorang anak pedagang kaki lima yang mempunyai mimpi yang tinggi.
Dulu, ibuku selalu bilang: "Nak, jgn mimpi sampai setinggi langit." begitu katanya.
Tapi dalam hatiku pun selalu menjawab:" bukankah mimpi memang harus sampai setinggi langit?"

Kehidupanku sewaktu kecil dihadapkan oleh serba kekurangan, walaupun tentu saja aku mengakui keluarga kami cukup bahagia. Ayah setiap malam berjualan rokok di perempatan kota, sementara ibu berjualan di tempat yang sama pada pagi hari. Aku anak ketiga dari tiga bersaudara, selalu membantu mereka di kedai kecil kami. Setiap hari aku datang ke kedai untuk menggantikan ibuku sholat terutama sholat magrib. Kegiatan di kedai sangat mengasyikkan bagiku, menjual dan membayar kembalian uang pembeli sangat kusuka, apalagi saat menghitung uang dari hasil penjualan ku.. wah.. rasanya senang sekali..

Ada kejadian lucu yang masih ku ingat sewaktu umurku masih menginjak 5 tahun. Pagi itu aku terbangun dari tidur langsung berteriak ke ibuku bahwa aku ingin masuk sekolah. Ibuku tentu saja membujukku untuk tidak meminta hal tersebut karena umurku yang masih terlalu muda, selain itu ibuku tidak sanggup untuk membiayaiku bersekolah di TK namun aku terus meminta sampai menangis dan menjerit. Dan akhirnya, hari itu juga aku diantar ibu ke sekolah TK yang tak jauh dari rumah kami.

Aku sekolah di Tk Diponegoro, tak jauh dari rumah kami. Tak disangka oleh ayah ibuku ternyata aku memperoleh juara ketika pembagian raport dan hal itu terus berlanjut sampai aku duduk di bangku SMA.

Setelah 2 tahun bersekolah di Tk, aku melanjutkan sekolahku ke SD Negeri yang juga tak jauh dari rumahku. Nah, sewaktu aku SD ada juga kejadian yang lucu. Pada suatu sore, aku menangis pada ibu ingin diantar mengaji pada hari itu juga. Lagi-lagi ibu membujukku agar jangan menangis, hari itu ibu tak sempat mengantar karena banyaknya pekerjaan rumah tapi seperti biasa aku tetap menangis dan berteriak kalau aku ingin mengaji sore itu juga dan akhirnya ibu mengantarku..

Bersambung...